redaksipil – Demo Kepala Desa di Jakarta sudah mengambil alih perhatian khalayak. Walau sebenarnya awalnya, tak pernah kedengar ada tekad kuasa dari pamong dusun itu. Tetapi mendekati tahun politik, beberapa kades ingin mendapatkan perhatian dengan sampaikan kemauan mereka masalah periode kedudukannya.
Ada apakah dengan beberapa kades? Kenapa mendadak mereka ingin kuasa diperpanjang sampai 9 tahun dan bisa diputuskan secara tiga masa? Apa ada “udang dibalik peyek” dari tuntutan itu? Apakah benar ada parpol tertentu yang memolitisasi rumor itu? Apa tuntutan beberapa kades itu sisi dari “status tawar” mereka ke Presiden Jokowi dan parpol tertentu?.
Dusun sudah lama ketinggalan dan keterbelakang. Pada akhirnya nasib dusun mulai sangat jelas saat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Mengenai Dusun ditetapkan oleh DPR dan Pemerintah SBY waktu itu. Semenjak itu posisi kades mulai diakui. Apa lagi undang-undang itu atur masalah dana dusun untuk pembangunan dusun.
Bila awalnya kedudukan kades tidak “seksi” , pasca-UU Dusun, persaingan perebutan kedudukan kades yang diputuskan langsung tak pernah sepi dari si calon. Bahkan juga cukup banyak kades jadi “kaki-tangan” parpol. Khususnya desa-desa yang mempunyai jumlah pemilih yang banyak. Menjadi rahasia jika partai politik turut mengongkosi calon kades untuk kebutuhan partai politik di dusun itu. Dalam alam demokrasi realita di atas ya boleh-boleh saja selama tidak menubruk ketentuan main yang ditata dalam ketentuan perundangan.
Tidak bisa dipungkiri jika “euforia” di tingkat dusun itu tidak berkorelasi dengan kemampuan dan kapabilitas kades. Bahkan juga dari segi umur banyak dari mereka yang sudah berusia 50 sampai 70 tahun. Begitu halnya kualitas pengajaran mereka. Ada beberapa yang tetap tidak dapat baca catat karena kurangnya tingkat pengajaran yang dienyamnya.
Tidaklah aneh bila usaha Presiden Jokowi untuk menyejahterakan dusun dengan peruntukan bujet Rp 1 miliar /tahun untuk kemakmuran warga dusun berbuntut jadi permasalahan hukum. Dan cukup banyak yang selanjutnya harus mengeram di penjara. Mengakibatkan nampaklah anggapan, kedudukan kades yang enam tahun untuk satu masa saja membuat warga dusun risau dan pembangunan di dusun melalui-salah satunya- melakui Badan Usaha Punya Dusun atau Bumdes alami stagnasi dan condong tidak rata.
Kepemimpinan di semua tingkat menginginkan pergantian. Tidak kecuali di dusun. Keinginan sembilan tahun untuk periode kepimpinan kades dan dapat turut sampai 3x sudah pasti mengganggu perputaran dan pergantian kepimpinan di dusun. Karena kemungkinan ada kades yang dapat berkuasa sepanjang tiga masa atau 27 tahun lama waktunya. Sudah pasti ini serupa dengan kekuasaan orde baru.

Apa saja argumen yang disampaikan, kemauan di atas akan membuat demokrasi lokal pada tingkat dusun seperti ada di “leher botol”. Berkuasa kelamaan tidak sehat, tetapi condong dan mempunyai potensi berlangsungnya korupsi dana dusun. “Power attend corrupt”, seperti yang sempat disampaikan oleh Lord Acton, akan makin bertambah terjadi.
Saksikan saja misalkan di selama setahun 2022. Sekitar 686 kades di Indonesia, turut serta korupsi dana dusun. KPK sekarang ini sudah tangani sekitaran 601 kasus korupsi yang mengikutsertakan piranti dusun dengan 686 orang. Dana dusun yang dikocorkan oleh pemerintahan pusat semenjak tahun 2015 sampai saat ini sudah capai di angka Rp 468,5 triliun.
Bukan jumlah yang sedikit. Angka rugi negara itu masih mengarah ke periode kedudukan 6 tahun dan satu masasasi kedudukan kades. Bisa kita pikirkan apa yang terjadi bila periode kedudukan jadi 9 tahun dan bisa diputuskan sepanjang tiga masa. Pasti kekuatan penyelewengan semakin lebih besar kembali.
Untuk masa datang demokratisasi lokal, wawasan yang dikatakan oleh organisasi kepala desa itu akan berpengaruh jelek pada demokrasi dalam makna pemantauan oleh warga. Gagasan pemerintahan dan DPR yang hendak mengoreksi UU No. 6 Tahun 2014 mengenai Dusun pasti harus direspon secara kenegarawanan. Karena bila cuma memprioritaskan kebutuhan sebentar yang memiliki sifat sementara, pasti ini ialah berita jelek untuk Indonesia.
Malah yang penting diperbarui ialah proses pengendalian dan pemantauan dana dusun supaya terbebas dari tangan-tangan kotor yang ingin merusak ekonomi masyarakt dusun. Wewenang besar yang dikasih ke kades lewat UU No 6 Tahun 2014 bila tidak dipantau dengan ketat akan membuat dusun makin miskin. Mengarah tahun 2018, minimal ada 900 kades yang turut serta korupsi dana dusun dengan rugi sejumlah Rp 40,6 milliar ditambahkan kasus korupsi yang sudah dilakukan secara bersama dengan aparat pemerintahan dusun yang jumlah tiap tahunnya alami peningkatan.
Pada akhirnya, memang UU Mengenai Dusun harus dikoreksi. Tetapi tidak untuk perpanjang periode kedudukan. Tetapi untuk pastikan supaya dana dusun sebaiknya datang dari karsa warga dusun. Penataan dana dusun yang “kaku” dan ditetapkan pemakaiannya oleh pusat pasti membuat dusun tidak bisa mengalami perkembangan seperti yang diharap.
Beberapa data dan bukti masalah tersangkutnya kasus hukum pada kades bisa jadi karena peruntukan dana dusun yang “di atas” dan pemantauan dan pembimbingan yang minimalis. Tidak ada satu riset juga yang mendapati jika makin lama pimpin akan membuat baik sebuah lokasi yang diperintah. Malah yang terjadi kebalikannya tetapi semakin bertambah jelek.
Kita mengharap tuntutan ekstensi umur kedudukan kades dan tiga masasasi seharusnya disetop. Silahkan konsentrasi untuk mengatur management administrasi dan keuangan dana dusun. Tingkatkan kemampuan dan kompetemsi kades. Sudah pasti transparan dan akuntanbilitas penyelenggaraan pemerintah dusun jadi “harga mati” yang tidak dapat dinegoisasikan. Ke parpol diharap masih tetap memiliki komitmen supaya diplomatisasi kedudukan kades akan berpengaruh jelek untuk masa datang demokrasi dan pergantian kepimpinan pada tingkat dusun.
Daripada menumpahkan tekad kuasa, lebih bagus kita menyiapkan dusun supaya bisa menyambut Indonesia Emas 2045. Karena secara geogarafis, kita pada hakekatnya datang dari dusun. Membuat dusun tidak cuma menahan urbanisasi, tetapi juga merealisasikan otonomi dusun yang bundar dan penuh. Dan yang terpenting ialah bagaimana ajak masyarakat supaya bisa berperan serta aktif dan bernilai membuat dusun.