Wanita Korban Pelecehan saat Umrah Dan Haji

4

redaksipil – Pengakuan Wanita Korban Pelecehan. Penghinaan seksual yang diperhitungkan dilaksanakan dengan seorang masyarakat negara Indonesia (WNI) pada jamaah wanita Lebanon di Mekkah ikut menggaungkan pengalaman traumatis sama yang dirasakan beberapa jamaah wanita Indonesia saat jalankan beribadah haji dan umrah.

WNI namanya Muhammad Said itu sudah divonis 2 tahun penjara oleh kewenangan Arab Saudi, yang oleh intelektual Islam Lies Marcoes dipandang seperti cara yang “lumayan baik”.

Tetapi, beberapa korban penghinaan seksual di Tanah Suci disebutkan tak pernah mendapatkan keadilan pada sesuatu yang menerpa mereka.

Salah satunya pemicunya, peristiwa penghinaan itu kerap kali dipandang “mustahil muncul karena ada di tempat suci” atau dipandang sebagai “karma atas tindakan sendiri”.

Lies Marcoes minta pemerintahan Indonesia kumpulkan data dan bukti yang bisa “buka mata” masalah begitu sungguh-sungguhnya rumor ini, dan “jangan menampik realitas berkenaan ini”.

Konsul Jenderal RI di Jeddah, Eko Hartono, menjelaskan jamaah yang alami penghinaan “bisa melapor ke aparatur di tempat”.

Daya ingat Bella terpantik kembali lagi ke tahun 2013 lalu saat ia dilecehkan dengan seorang jamaah lelaki selesai sholat di Masjidil Haram, Mekkah.

Wanita berumur 30 tahun itu akui marah membaca sebuah ciutan pembelaan dari account yang akui sebagai keluarga dari Muhammad Said.

Ia mencuit: “Asumsinya bila beliau ingin lakukan hal tersebut, mengapa harus ke Tanah Suci dan kami mengetahui di situ tempat melaksanakan ibadah”.

 Wanita Korban Pelecehan
Wanita Korban Pelecehan

 

“Jika ada yang ngomong ‘ngapain di Tanah Suci lakukan penghinaan?’, menurut saya opini itu tidak benar. Saya sendiri faktanya waktu di situ alami penghinaan,” kata Bella ke BBC News Indonesia.

Bella bukan salah satu. Anggi, bukan nama sebetulnya, bahkan juga akui trauma kembali lagi ke Tanah Suci karena alami 3x penghinaan saat melaksanakan ibadah haji pada 2004 lalu.

Beberapa netizen juga ikut membagi pengalaman gelap mereka alami penghinaan seksual di Mekkah.

Tetapi dari timbulnya pernyataan-pengakuan itu, Lies menjelaskan tidak ada yang dapat pastikan berapa genting sebetulnya penghinaan yang menerpa jamaah-jemaah wanita.

Oleh karenanya, ia menekan pemerintahan kumpulkan bukti masalah kasus dan pengalaman jamaah wanita alami penghinaan seksual, sebagai referensi membuat peraturan yang akurat.

Pada 2018 lalu, tagar #MosqueMeToo menggaungkan penghinaan seksual yang menerpa jamaah wanita dari beragam negara saat menjalankan beribadah haji di Mekkah. Seorang wanita asal dari Indonesia juga ikut membagi pengalaman jeleknya berkaitan itu.

Tetapi mulai sejak itu, Lies memandang sedikit usaha yang sudah dilakukan untuk menangani itu, khususnya dari dalam negeri.

Dalam pada itu, Konsul Jenderal RI di Jeddah Eko Hartono mengaku jika mereka tidak mempunyai data yang tepat masalah penghinaan seksual yang terjadi sejauh penyelenggaraan haji dan umrah.

“Data yang tepat memang susah kita punyai karena sering tidak ada laporan. Faksi wanita umumnya malas atau takut melapor,” kata Eko lewat pesan singkat.

Dipandang ganjaran atas tindakan sendiri
Bella barusan usai sholat di Masjidil Haram bersama ibunya saat ia harus lewat keramaian jamaah pada 2013 kemarin.

“Di sana tentu ada keadaan di mana kita ingin tidak mau berhimpitan dengan orang. Tetapi saat itu saya berpikiran mustahil donk di Tanah Suci ada yang aneh-aneh,” kata Bella.

“Saat itu saya sama keluarga saya, ditambahkan lagi di situ gunakan abaya kan. Karena itu waktu jalan itu saya terkejut kok ada yang meremas pantat saya dan itu bukan sekedar kesenggol.”

Bella sempat termenung, coba mengolah apa yang baru ia alami. Hingga kemudian ia berani bereaksi.

“Saya menyaksikan ke belakang dan melotot pada orang itu, dan ia [pelaku] justru senyuman, tertawa seakan-akan ia senang lakukan itu,” papar Bella yang akui hingga kini masih ingat terang muka orang yang melecehkannya.

Tapi pada waktu itu, Bella tidak bercerita peristiwa itu ke siapa saja karena cemas apa yang dirasakannya dipandang seperti “ganjaran” pada sesuatu yang ia lakukan.

“Karena saat itu saya berasa jika narasi atau melapor dilecehkan di Tanah Suci, justru dipandang ganjaran dan ditunjuk ‘kamu buat dosa kali di Indonesia sampai kamu digituin sama orang’ atau keyakinan-keyakinan semacam itu,” papar ia.

Trauma kembali lagi ke Tanah Suci

Sesudah alami 3x penghinaan saat melaksanakan ibadah haji di Mekkah pada 2004, Anggi akui trauma kembali lagi ke Tanah Suci.

“Bahkan juga jika ada pengakuan jika telah ada pembaruan semua jenis, masih tetap tidak ada kemauan [untuk kembali]. Memory jelek itu yang semakin kuat,” kata Anggi.

Satu diantaranya terjadi saat seorang lelaki meraba payudaranya di muka Ka’bah saat dianya sedang tawaf (aktivitas melingkari Ka’bah sekitar 7x).

“Saat itu saya berpikir, bisa-bisanya ia lakukan itu. Pas depan Ka’bah! Saat lakukan tawaf! Betul-betul penistaan,” papar Anggi.

Tapi Anggi tidak bercerita peristiwa itu ke orang tuanya. Ia pun tidak tahu ke mana harus memberikan laporan penghinaan yang ia alami.

Sama dengan Bella, Anggi sempat cemas jika penghinaan yang ia alami ialah “balasan pada sesuatu yang dilaksanakan”.

Demikian kembali dan bercerita pengalaman ini, Anggi juga akui mendapatkan narasi dari wanita-perempuan yang lain alami penghinaan saat beribadah haji atau umrah.

“Itu bukan pengalaman yang jarang ada, banyak wanita yang sebetulnya alami itu. Pemerintahan harus mengaku jika ini permasalahan laten, karena hanya tidak ada yang melapor tidak berarti itu tidak ada,” tutur Anggi.

Bermacam narasi masalah pengalaman dilecehkan itu juga yang membuat Wita Adelina, 30, berasa khawatir saat jalani beribadah umrah pada 2019.

Beberapa hal yang dipesan oleh pemandu dari agen perjalanannya, terutamanya ke beberapa jamaah wanita.

Misalkan jika jamaah wanita selalu harus ditemani oleh mahramnya tiap melancong. Atau saat akan naik taksi, “yakinkan lelaki naik terlebih dahulu dari wanita”.

“Entahlah itu semua benar atau tidak tetapi yang pasti banyak pesannya, dan karena jumlahnya pesan itu, jujur menjadi parno dan saya menahan melancong sendirian,” kata Wita.

Bahkan juga saat tawaf, yang selalu padat dan berdesakan, mereka membuat seperti barikade dari sama-sama kelompok keberangkatan yang serupa untuk menghindar terjadi penghinaan.

‘Perempuan memiliki hak berdesak-desakan dan bebas dari penghinaan’
Sebagai negara pengirim jamaah haji paling besar di dunia, Lies Marcoes menjelaskan ada kekuatan besar banyak jamaah-jemaah asal dari Indonesia alami penghinaan.

Oleh karenanya, ia minta pemerintahan Indonesia kumpulkan data dan bukti yang bisa “buka mata” masalah begitu sungguh-sungguhnya rumor ini, dan “jangan menampik realitas berkenaan ini”.

“Langkah awal ialah harus ada data pembuka mata seperti apakah. Atur data jika terjadi penghinaan seksual di asrama, perjalanan yang berdesak-desakan, dan sebagainya. Harus punyai data dahulu,” kata Lies.

Data yang ada, katanya, menjadi pangkalan pemerintahan untuk membuat standard operasional proses yang pas target atau menggerakkan usaha penangkalan dan pengatasan kekerasan seksual dengan pemerintahan Arab Saudi.

“Kan ribet jika kita tidak punyai data yang dapat dihandalkan untuk minta MoU atau apa saja. Kembali lagi ke datanya dahulu dan tidak boleh anekdotal yang berbasiskan ucapnya, lalu baru ramai saat ada persidangan seperti sekarang ini,” kata Lies.

Proses yang dibuat, dapat berbentuk sediakan aliran aduan yang bisa membuat perlindungan dan memihak pada korban.

Disamping itu, memperlengkapi beberapa pemandu haji dan umrah dengan kekuatan tangani dan hadapi laporan penghinaan seksual dari jamaah haji.

“Tidak boleh dipandang itu sebagai masalah individual . Maka harus ada aduan tersebut lantas harus terang bagaimana pengatasannya jika itu terjadi di Saudi,” katanya.

Tetapi Lies menjelaskan salah satunya masalah pengatasan penghinaan seksual sejauh ini ialah asumsi jika penghinaan seksual “terjadi sebagai ujian atau karma untuk korban”. Stigma ini, katanya, jangan dilanggengkan kembali.

Disamping itu, SOP yang dibuat pun tidak bisa menepikan wanita dari hak-haknya untuk memperoleh akses melaksanakan ibadah dan jalankan ritus agama yang sama dengan.

“Ini dalam soal kekerasan seksual tidak boleh lantas ada satu ruangan permakluman ‘oh itu karma buat wanita itu alami penghinaan seksual’. Tidak boleh masuk ke ‘jebakan batman’ itu.”

“Wanita memiliki hak berdesak-desakan, memiliki hak bebas dari penghinaan seksual. Itu cuma dapat diusahakan dari faksi pelaksana penerapan haji, dalam masalah ini Kementerian Agama,” terang Lies.

BBC News Indonesia sudah mengontak Kementerian Agama berkaitan kasus ini. Tetapi wewenang untuk menjawab mereka alihkan ke Konsulat Jenderal RI di Jeddah.

Dan Konsul Jenderal RI di Jeddah, Eko Hartono, menjelaskan jamaah yang alami penghinaan “bisa melapor ke aparatur di tempat”.

Laporan penghinaan seksual, kata Eko, akan diatasi seperti delik pengaduan secara umum dan KJRI Jeddah janji akan memberikan perlindungan hukum dan pengiringan dalam masalah ini.